Lamanku

Hard_Men (the strong boy)

Solok, Sumatra barat, Indonesia

Senin, 06 Agustus 2012

Mengejar Air 2


Mengejar Air 2
Bersama merah putih

Belum tampak tanda-tanda matahari akan keluar dari peraduannya. Sangat gelap sekali, seakan malam membenci dan tak ingin berjumpa dengan bulan untuk kali ini, hanya sang bintang yang kelap kelip setia berujar di tengah biasnya malam. Pantas saja terasa panas memang nyatanya bumi ini semakin panas membuat tidurku gusar kesana kemari mencari posisi yang pas untuk bermimpi, sedikit lama mataku terpejam menanti saat sahur tiba, bintik-bintik keringat mulai menyeruak kepermukaan kulit mengering bersama air liur yang sejatinya membentuk pulau kecil di area bawah kepala, menjadi lebih luas pulaunya mana kala air dalam celanaku ikut hanyut bersama malam, menenggelamkan angan-anganku tentang air yang segar dan menyegarkan, terlalu dalam aku tenggelam sampai batas nafasku berhenti menyesak dan tersentak.

Aku terbangun dan mengetahui kalau semua sudah membasahi celana, bantal dan selimut merah putihku, ibu tak tau, kalau ibu sampai tau matilah aku, kemana aku harus lari dan mencucinya, sebesar kota ini sulitlah mencari air, bahkan untuk sekedar membasahi bibir saja harus mengharap hujan tiba. Agar ibu tak tau, seperti biasa aku bangun dan melipatnya lalu ku sosorkan kebawah dipan untuk kuambil nanti, kalau ibu bertanya “bau apa ini?, aku akan menjawabnya “ mungkin bau gundukan sampah di belakang rumah bu”, sambil tersenyum aneh yang melegakan. Kalau sudah seperti itu ibu seakan diam dan bergumam, saur kali ini ibu hanya memanggang ubi dan singkong, tunggu! Sepertinya basah, singkong ini tidak di panggang tapi di rebus, dari mana ibu mendapatkan air, belum aku bertanya ibu sudah bicara. “kau tak perlu kawatir hari ini kita makan ubi rebus, biar perutmu sehat, banyak makan ubi bakar tak baik untuk kesehatan”, sembari memotong belah ubi menjadi 2 bagian. Aku senang dan bertanya “alhamdulillah, dari mana ibu dapat air untuk merebus?”, “sudahlah kau tak perlu tau, makan sajalah sebentar lagi akan imsak”, ibu selalu tahu kapan waktu imsak akan tiba padahal di rumah kami tak ada jam, ibu memang pandai mengira-ngira waktu, pernah aku bertanya “kenapa ibu tak belikan jam kecil untuk rumah ini?, dan ibu selalu menjawab “ buat apa jam toh kerja ibu hanya serabutan, ibu tak mau di perbudak oleh waktu, yang ibu mau kita yang menaklukan waktu”!, dengan sikap keras, ibu memang selalu ingin mengetur waktu nya sendiri pada prinsipnya memang ada baiknya bukan waktu yang mengatur kita, tapi bagaiman kita bisa mengatur waktu dengan baik.

Ada segelas air putih di meja, cara kami berbagi ibu menuangkannya setengah gelas kepadaku, lalu setengah gelas lagi untuk ibu, begitulah selalu kami lakukan setiap harinya, agar kami tetap bisa merasakan air, pernah ku baca artikel sobek di pinggir jalan “bahwa tidak makan seharipun akan tetap sehat jika hanya meminum segelas air mineral, dari itulah yang buatku selalu semangat, walau sebenarnya memang aku butuh air untuk membasuh rambut ibu yang lama tak pernah di bilasnya, kalau saja aku punya uang sedikit banyak aku mau membawa ibu kesalon kecantikan, bukan untuk bekerja tapi untuk bersolek sedikitlah, agar kampung kutu di kepalanya berimigrasi sejauh mungkin.
Lepas azan subuh, aku tak ingin tidur lagi aku ingin membawa monic (nama ikan hias) jalan-jalan mencari air, terakhir kulihat airnya memang sudah keruh, aku tak ingin dia tersiksa dan sampai mati, di mataku monic adalah ibu kedua karena ini adalah pemberian ayah, jadi sehatinya aku harus jaga benar-benar cinta ayah padaku.

Sebelum monic ku sambangi dekat-dengat, dengan langkah pelan aku mengangkat botol kacanya selaras kepalaku melirik kedalam, apa yang sedang monic rasakan, ia terbaring lemas tanpa air, ia masih hidup sepertinya belum lama ia seperti ini, insangnya terus membuka tutup untuk bernafas, apa yang sebenarnya terjadi?, apa ia terjatuh dan airnya tumpah? tapi kenapa posisinya masih rapi seperti ini, kacanya tidak pula retak, “pasti ibu!’ fikirku melayang jauh ke ibu. “bu!, kenapa monic seperti ini, mana airnya?”, “sudah kau carikan saja lagi airnya!, tadi ibu pakai untuk merebus ubi”, suara ibu jauh keras terdengar sampai ketelingaku, dimana aku harus mencarikan air untuk monic? Tanya ku lagi. “pakai saja air gelas, yang ada di meja itu!” pinta ibu, “tapi, ini tidak cukup ia tidak bisa begerak!, rengekku menjadi, “sudah, pakai saja dulu, sebelum kau mencarinya!” sahut ibu, “cari dimana bu?, masih bertanya, “ke pantai sebrang, sekalian kau bawakan seember air untuk berbuka!”, “tapi jauh bu!” aku mengeeluh, “kau mau pergi, atau monic mati?”, tegas ibu, dan aku terdiam. Terdengar kembali “cepatlah pergi, kau harus kembali sebelum sore!”, aku diam tak menjawab.

Aku tau, pasti sore tak akan cepat sampai kerumah mengingat jauh sekali pantai yang ibu sebutkan itu, sudah lama sekali aku tak kesana. Terakhir umur 2 tahun ayah membawaku kesana itupun aku di gendong, dan sekarang bagaimana bentuk rupa pantai itu? aku tak tau!, sepertinya tak perlu ada yang di bereskan aku mulai mengayuh langkah pertama sepeda ronsokku, “eits..tunggu”, ku injak pegas rem kuat-kuat debu mengepul dari dua sisi ban lalu sedikit terjungkit bagian belakang. Aku baru ingat untuk membawa selimut merah putih yang kusosorkan di bawah dipan, fikirku bisa sekalian di cuci setibanya di sana. Bak supermen musim kemarau, kuikat bagian sisi lebar dari persegi panjang selimut ke kuduku, jadilah aku superhero bersepeda “haha, gelaku menghibur diri.

Seperti pagi, mataharipun baru menampakan dirinya dan bulan sudah lama menghilang, mereka berdua selalu berkejaran siang dan malam, bersama mentari aku bernyanyi mewarnai pagi ini, tak bisa di bayangkan konsep pagi yang di rancang allah selalu indah pada saatnya, selalu ada angin, kicauan burung dan lambaian dedaunan seakan mereka gembira menyambut  pagi yang indah. Dari sepeda Angin berhembus kencang menyapu rambutku, mengibarkan sang merah putih, dan embunnya membasahi wajahku yang kering. Dari semua kebahagiaan itu aku masih tetap saja cemas dengan monic, ‘sudah berapa habis nafasnya? Selalu bertanya di fikiranku, aku sengaja tak memberinya air tadi, aku takut sore tak sampai di rumah, jadi ibu masih bisa mernggunakan air di dalam gelas itu untuk berbuka, mungkin aku bisa dapatkan air di jalan.

Mobil-mobil besar, sepeda motor dan kendaraan lainnya sudah mulai penuh sesak di jalanan, mereka pergi untuk melakukan aktivitas kantor,sosial,dagang dan, lainnya.di sepanjang jalan kota aku belum dapat menemukan air, tak jarang sesekali aku dapatkan air dari cipratan ban mobil, banyak jalan memang yang berlubangdi sepanjang lintas sumatra,jalanan berdebu, bebatuan dan krikil dan semua luka yang ada di jalanan, termasuk luka hatiku menjadi orang terpinggir yang hidup tanpa air. Tapi semua percuma pemerintah seperti punya penyakit telinga, dan rabun jauh, seakan hanya peduli dengan orang-orang dekat, dan butuh teropong bulan untuk peduli terhadap berita orang kampung dan kampungan.

“au”, ada sesuatu masuk kemataku, rasanya pedih sekali, tangan kananku mulai tau maksudnya dan mengggosok-gosok kelopak yang sakit, masih terasa sakit aku tak tau lagi arah jalan, sedikit terdengar seseorang mengatakan “stop! stop! dan akhirnya “dabruugh”, menabrak  gerobak air. Semua jerigen air tak bertutup lantas semua tumpah dan aku ikut tersungkur di antara tumpukan jerigen sepedaku tak jelas lagi lari kemana. aku tak bisa berfikir apa-apa, tanpa bisa merasa sakit lalu aku kemas dengan cepat air yang tumpah dengan ember yang jatuh ikut bersamaku, tapi dimana monic?, sambil menggusar-gusar mencarinya pedagang air itupun terus bicara tak jelas mengocehiku keras-keras.
“maaf pak, maaf pak, terus ku ulangi kata-kata itu sampai akhirnya ku temui monic sedang berenang asik di antara tumpahan air. aku tersenyum bahagia melihatnya, lalu kembali ku masukan kedalam ember dan bergegas lari mengayuh sepeda, sempat pedagang itu mengejarku, lalu dari kejauhan aku mengatakan “Ma’af pak!”, dengan suara lantang dan ketakutan.

Memasuki jalanan berbatu dan berdebu, hari sudah sangat siang matahari kembali menunjukan kemarahannya kepada manusia yang ingkar akan kebersihan, global warming menjadi hal yang lumrah bahkan hanya sekedar tema dan slogan sampahan di jalanan, kebijakan menanan 1000 pohon pun di pikir hanya percuma kalau toh manusia menggerusnya kembali dengan tangan-tangan kotor, negeri yang katanya subur dengan tanaman hijau, kini lambat laun tampak aslinya bagai neraka kecil. Inilah sebabnya air tak mau singgah ke tanah kami. Tanah yang dulu bisa buat nenek dan kakek tersenyum, tanah yang dulu bagai istanah surga, tanah yang dulu menyuguhkan buah segar gratis bagi anak-anak, lalu kini kami hanya bisa menangis dan menunggu kapan tuhan berbaik hanti untuk menurunkan hujan di tanah kami.

Matahari tak lagi iba kepadaku, kakiku terus saja mengayuh sepedah sekuat adanya tenaga, menghitung putaran sampai benar-benar berhenti dan berfikir untuk mencari tempat teduh, punggungku tak sanggup lagi untuk tegap berdiri, aku harus istirahat dan bermimpi untuk mencari tenaga di tengah puasa yang sedang aku lakukan. “alhamdulillah, di belakang gedung sebuah hotel ada taman kecil yang ayem yang bisa buat aku berbaring. Sudah kusambangi saja tempat itu dan meregangkan satu persatu bagian tubuh, ternyata di kota ini masih ada tempat seperti ini, tempat yang menyuguhkan dinginnya rumput hijau,pohon dan semak yang rindang, mungkin ini sedikit dari kebaikan siang yang di berikan tuhan kepada kami yang mau mencarinya.

Di penghujung tidur, aku bermimpi hujan deras mengguyur desaku selama tujuh hari tanpa henti, lalu kami berpesta, menari dan bersyukur bersama di bawah guyuran hujan, semua ternak bersuara riang, tumbuhan, pepohonan,dan buanga kembali tumbuh dan bermekaran. Lebah,semut dan burung bertebaran untuk mencari madu bunga dan manisnya buah-buahan semanis hidup yang kami rasakan

Ternyata mimpi itu tak bertahan lama, aku terbangun di bawah guyuran hujan rintik-rintiknya menbasahi wajah,leher serta badanku, “ya tuhan, apa ini benar-benar hujan?”, “Atau ini jawaban dari mimpiku?, aku masih belum percaya dengan keadaan yang aku dapati ini, aku tersenyum menadahkan tangan tinggi-tinggi berputar-putar riang sebelum aku benar-benar tahu kalau air yang turun itu adalah air jemuran dan terlihat jauh di atas sana seorang gadis seumurku sedang mengibas bajunya untuk di keringkan, “haha, pantas saja baunya, seperti bau ditergen”, melihat aku kebingungan di bawah sana lalu gadis itu bersuara, “maaf ya mas, saya tidak sengaja”, suaranya lebut dan bernada, “iya, tidak apa-apa”, dalam hatiku ikut bersuara “ kalaulah sengaja juga tak apa, toh yang nyiramnya cantik”, aku tertawa dia tersenyum kami saling malu-malu pandang. Aku sudahi pertemuan itu dan mulai cemas mencari sepedaku, “dimana, dimana sepedaku?”, aku rasa aku letakan di samping sini. Ada suara dari atas. “cari apa mas?”, tanya gadis itu. “sepeda!, kamu lihat gak?”, seruku dengan suara tinggi. Iapun langsung menjawab, “yang itu?” tangannya menunjukan kearah seseorang yang dengan cepat membawa sepedaku. “wah sepedaku, tanpa berfikir apapun aku berlari dan mengejar sekuat mungkin, aku belum berhenti, aku tak mau kehilangan sepedaku, pantai tak begitu jauh, aku tak mau pulang terlambat. Namun, nyatanya badanku lemas aku tidak bisa mengejar tapi aku masih berlari, bayangan sepedaku sudah menghilang jauh. Aku tak kuat lagi berlari tapi aku masih saja berlari aku jatuh menangis dan berteriak. Rasanya gila memang gila, di saat bulan puasa seperti ini masih saja ada orang gila yang mau mencuri sepeda rongsok seperti itu, “dasar percuri tidak berfikir”, aku menghujat. “Akukan sedang butuh!, kalaulah kau tau ibuku sedang menungguku di rumah, menunggu air untuk membilas tenggorokannya yang kering setelah seharian bekerja, kau harus tau itu! Harus tau! Hei pencuri! Pencuri!, aku terus berteriak, berteriak kepada pencuriyang sudah jauh larinya, kepada orang yang mau mendengarkan keluhku, kepada tuhan yang maha tahu keadaanku.

Aku bingung, harus bagaimana saat ini, haruskah aku pulang dengan tangan kosong dan mengatakan kepada ibu kalau sepedaku hilang dan monic mati karena aku tak sampai ke pantai, atau tetap melanjutkan perjalanan dan pulang terlambat. pilihan yang sulit memang, tapi harus bagaimana lagi mungkin lebih baik terlambat dari pada tidak datang sama sekali, di pinggir jalan aku menumpang mobil ternak yang akan pergi ke pantai. Bersama kambing ternak lengkapi sore dengan pikiran yang kalut, angin senja berhembus dingin matahari sudah malas memancarkan cahayanya langitpun mulai redup kemerahan, indah memang sore ini tapi sayang aku tak bisa menikmatinya, perutku sakit,kepalaku pusing, keadaanku sudah tidak sehat lagiyang bisa aku lakukan hanya menagkup ember ke perutku yang lapar, memandangi monic sambil berbicara kosong.

Ketika mataku terpejam, aku mulai merasakan rintik hujan bersahutan diwajah,lengan dan kaki semakin lama semakin deras dan basah, yah aku bisa mendengar ribut hujan di sepanjang jalan, kali ini aku tidak bisa mengatakan kalau tuhan berbohong kepadaku. Hujan telah turun tapi sekali lagi sayang aku benar-benar tidak bisa tersenyum, bibirku seakan beku dan mataku bak daun kring yang siap rontok. Sungguh menyakitkan roh ku yang ingin bersyukur.

Tuhan kini mulai tau maksudku, tuhan membalas surat yang ibu kirim jauh-jau hari, aku tau mobil sudah menepi di pinggir pantai sejak lama, menunggu aku turun, karena mobil akan kembali. Melihat aku tak kunjung bangun kedua orang yang mengantarku kemudian mengangkat dan membawaku ke bibir pantai, aku di baringkan disana, dan di selimuti dengan selimut merah putih yang sejak awal perjalanan terikat di kudukku. Aku tak bisa lagi mencucinya anganku sudah jauh pergi ntah kemana, pikiranku melanglang buana kenegeri di mana semua isinya adalah air, senja mulai kontras berwarna merah mentari harus tidur dan pulang kerumah, tampaklah bulan yang sedang bersiap-siap bekerja malam ini, lalu terdengar suara azan menggema jauh ntah dimana suaranya pelan syahdu bertalu di dalam hati, ombak pantai mulai bersahutan sampai kebibirku, bahkan alam tau kalau aku sedang berpuasa. Tentang monic, monic telah jauh pergi ke lautan, ia sudah lebih dulu pulang. Mungkin ia akan lebih bahagia tanpa harus tersiksa hidup bersamaku.


“tuhan! Aku lelah, izinkanlah aku tidur semalam disini, biarkan bulanmu menjadi penerangku agar aku tidak terlalu takut dengan kegelapan semalam, beri tahu aku dongeng tentang air, tuhan mungkin aku akan tidur berselimut air. Tapi aku mohon, jangan jadikan aku bangkai malam yang siap di lempar ke lautan.

 NB. seting suasana: Ramadhan 
        seting tempat : Mutun, tanjung karang 
        durasi : 10 menit