Mengejar Air 2
Bersama merah putih
Belum
tampak tanda-tanda matahari akan keluar dari peraduannya. Sangat gelap sekali,
seakan malam membenci dan tak ingin berjumpa dengan bulan untuk kali ini, hanya
sang bintang yang kelap kelip setia berujar di tengah biasnya malam. Pantas
saja terasa panas memang nyatanya bumi ini semakin panas membuat tidurku gusar
kesana kemari mencari posisi yang pas untuk bermimpi, sedikit lama mataku
terpejam menanti saat sahur tiba, bintik-bintik keringat mulai menyeruak
kepermukaan kulit mengering bersama air liur yang sejatinya membentuk pulau
kecil di area bawah kepala, menjadi lebih luas pulaunya mana kala air dalam
celanaku ikut hanyut bersama malam, menenggelamkan angan-anganku tentang air
yang segar dan menyegarkan, terlalu dalam aku tenggelam sampai batas nafasku
berhenti menyesak dan tersentak.
Aku
terbangun dan mengetahui kalau semua sudah membasahi celana, bantal dan selimut
merah putihku, ibu tak tau, kalau ibu sampai tau matilah aku, kemana aku harus
lari dan mencucinya, sebesar kota ini sulitlah mencari air, bahkan untuk
sekedar membasahi bibir saja harus mengharap hujan tiba. Agar ibu tak tau,
seperti biasa aku bangun dan melipatnya lalu ku sosorkan kebawah dipan untuk
kuambil nanti, kalau ibu bertanya “bau apa ini?, aku akan menjawabnya “ mungkin
bau gundukan sampah di belakang rumah bu”, sambil tersenyum aneh yang
melegakan. Kalau sudah seperti itu ibu seakan diam dan bergumam, saur kali ini
ibu hanya memanggang ubi dan singkong, tunggu! Sepertinya basah, singkong ini
tidak di panggang tapi di rebus, dari mana ibu mendapatkan air, belum aku
bertanya ibu sudah bicara. “kau tak perlu kawatir hari ini kita makan ubi
rebus, biar perutmu sehat, banyak makan ubi bakar tak baik untuk kesehatan”,
sembari memotong belah ubi menjadi 2 bagian. Aku senang dan bertanya
“alhamdulillah, dari mana ibu dapat air untuk merebus?”, “sudahlah kau tak
perlu tau, makan sajalah sebentar lagi akan imsak”, ibu selalu tahu kapan waktu
imsak akan tiba padahal di rumah kami tak ada jam, ibu memang pandai
mengira-ngira waktu, pernah aku bertanya “kenapa ibu tak belikan jam kecil
untuk rumah ini?, dan ibu selalu menjawab “ buat apa jam toh kerja ibu hanya
serabutan, ibu tak mau di perbudak oleh waktu, yang ibu mau kita yang
menaklukan waktu”!, dengan sikap keras, ibu memang selalu ingin mengetur waktu
nya sendiri pada prinsipnya memang ada baiknya bukan waktu yang mengatur kita,
tapi bagaiman kita bisa mengatur waktu dengan baik.
Ada
segelas air putih di meja, cara kami berbagi ibu menuangkannya setengah gelas
kepadaku, lalu setengah gelas lagi untuk ibu, begitulah selalu kami lakukan
setiap harinya, agar kami tetap bisa merasakan air, pernah ku baca artikel
sobek di pinggir jalan “bahwa tidak makan seharipun akan tetap sehat jika hanya
meminum segelas air mineral, dari itulah yang buatku selalu semangat, walau
sebenarnya memang aku butuh air untuk membasuh rambut ibu yang lama tak pernah
di bilasnya, kalau saja aku punya uang sedikit banyak aku mau membawa ibu
kesalon kecantikan, bukan untuk bekerja tapi untuk bersolek sedikitlah, agar
kampung kutu di kepalanya berimigrasi sejauh mungkin.
Lepas
azan subuh, aku tak ingin tidur lagi aku ingin membawa monic (nama ikan hias)
jalan-jalan mencari air, terakhir kulihat airnya memang sudah keruh, aku tak
ingin dia tersiksa dan sampai mati, di mataku monic adalah ibu kedua karena ini
adalah pemberian ayah, jadi sehatinya aku harus jaga benar-benar cinta ayah
padaku.
Sebelum
monic ku sambangi dekat-dengat, dengan langkah pelan aku mengangkat botol
kacanya selaras kepalaku melirik kedalam, apa yang sedang monic rasakan, ia
terbaring lemas tanpa air, ia masih hidup sepertinya belum lama ia seperti ini,
insangnya terus membuka tutup untuk bernafas, apa yang sebenarnya terjadi?, apa
ia terjatuh dan airnya tumpah? tapi kenapa posisinya masih rapi seperti ini,
kacanya tidak pula retak, “pasti ibu!’ fikirku melayang jauh ke ibu. “bu!,
kenapa monic seperti ini, mana airnya?”, “sudah kau carikan saja lagi airnya!,
tadi ibu pakai untuk merebus ubi”, suara ibu jauh keras terdengar sampai
ketelingaku, dimana aku harus mencarikan air untuk monic? Tanya ku lagi. “pakai
saja air gelas, yang ada di meja itu!” pinta ibu, “tapi,
ini tidak cukup ia tidak bisa begerak!, rengekku menjadi, “sudah, pakai saja
dulu, sebelum kau mencarinya!” sahut ibu, “cari dimana bu?, masih bertanya, “ke
pantai sebrang, sekalian kau bawakan seember air untuk berbuka!”, “tapi jauh
bu!” aku mengeeluh, “kau mau pergi, atau monic mati?”, tegas ibu, dan aku terdiam.
Terdengar kembali “cepatlah pergi, kau harus kembali sebelum sore!”, aku diam
tak menjawab.
Aku
tau, pasti sore tak akan cepat sampai kerumah mengingat jauh sekali pantai yang
ibu sebutkan itu, sudah lama sekali aku tak kesana. Terakhir umur 2 tahun ayah
membawaku kesana itupun aku di gendong, dan sekarang bagaimana bentuk rupa
pantai itu? aku tak tau!, sepertinya tak perlu ada yang di bereskan aku mulai
mengayuh langkah pertama sepeda ronsokku, “eits..tunggu”, ku injak pegas rem
kuat-kuat debu mengepul dari dua sisi ban lalu sedikit terjungkit bagian
belakang. Aku baru ingat untuk membawa selimut merah putih yang kusosorkan di
bawah dipan, fikirku bisa sekalian di cuci setibanya di sana. Bak supermen
musim kemarau, kuikat bagian sisi lebar dari persegi panjang selimut ke kuduku,
jadilah aku superhero bersepeda “haha, gelaku menghibur diri.
Seperti
pagi, mataharipun baru menampakan dirinya dan bulan sudah lama menghilang, mereka
berdua selalu berkejaran siang dan malam, bersama mentari aku bernyanyi
mewarnai pagi ini, tak bisa di bayangkan konsep pagi yang di rancang allah
selalu indah pada saatnya, selalu ada angin, kicauan burung dan lambaian
dedaunan seakan mereka gembira menyambut
pagi yang indah. Dari sepeda Angin berhembus kencang menyapu rambutku,
mengibarkan sang merah putih, dan embunnya membasahi wajahku yang kering. Dari
semua kebahagiaan itu aku masih tetap saja cemas dengan monic, ‘sudah berapa
habis nafasnya? Selalu bertanya di fikiranku, aku sengaja tak memberinya air
tadi, aku takut sore tak sampai di rumah, jadi ibu masih bisa mernggunakan air
di dalam gelas itu untuk berbuka, mungkin aku bisa dapatkan air di jalan.
Mobil-mobil
besar, sepeda motor dan kendaraan lainnya sudah mulai penuh sesak di jalanan,
mereka pergi untuk melakukan aktivitas kantor,sosial,dagang dan, lainnya.di
sepanjang jalan kota aku belum dapat menemukan air, tak jarang sesekali aku
dapatkan air dari cipratan ban mobil, banyak jalan memang yang berlubangdi
sepanjang lintas sumatra,jalanan berdebu, bebatuan dan krikil dan semua luka
yang ada di jalanan, termasuk luka hatiku menjadi orang terpinggir yang hidup
tanpa air. Tapi semua percuma pemerintah seperti punya penyakit telinga, dan
rabun jauh, seakan hanya peduli dengan orang-orang dekat, dan butuh teropong
bulan untuk peduli terhadap berita orang kampung dan kampungan.
“au”,
ada sesuatu masuk kemataku, rasanya pedih sekali, tangan kananku mulai tau
maksudnya dan mengggosok-gosok kelopak yang sakit, masih terasa sakit aku tak
tau lagi arah jalan, sedikit terdengar seseorang mengatakan “stop! stop! dan
akhirnya “dabruugh”, menabrak gerobak
air. Semua jerigen air tak bertutup lantas semua tumpah dan aku ikut tersungkur
di antara tumpukan jerigen sepedaku tak jelas lagi lari kemana. aku tak bisa
berfikir apa-apa, tanpa bisa merasa sakit lalu aku kemas dengan cepat air yang
tumpah dengan ember yang jatuh ikut bersamaku, tapi dimana monic?, sambil
menggusar-gusar mencarinya pedagang air itupun terus bicara tak jelas mengocehiku
keras-keras.
“maaf pak, maaf pak, terus ku ulangi kata-kata itu sampai akhirnya ku temui monic sedang berenang asik di antara tumpahan air. aku tersenyum bahagia melihatnya, lalu kembali ku masukan kedalam ember dan bergegas lari mengayuh sepeda, sempat pedagang itu mengejarku, lalu dari kejauhan aku mengatakan “Ma’af pak!”, dengan suara lantang dan ketakutan.
“maaf pak, maaf pak, terus ku ulangi kata-kata itu sampai akhirnya ku temui monic sedang berenang asik di antara tumpahan air. aku tersenyum bahagia melihatnya, lalu kembali ku masukan kedalam ember dan bergegas lari mengayuh sepeda, sempat pedagang itu mengejarku, lalu dari kejauhan aku mengatakan “Ma’af pak!”, dengan suara lantang dan ketakutan.
Memasuki
jalanan berbatu dan berdebu, hari sudah sangat siang matahari kembali
menunjukan kemarahannya kepada manusia yang ingkar akan kebersihan, global
warming menjadi hal yang lumrah bahkan hanya sekedar tema dan slogan sampahan
di jalanan, kebijakan menanan 1000 pohon pun di pikir hanya percuma kalau toh
manusia menggerusnya kembali dengan tangan-tangan kotor, negeri yang katanya
subur dengan tanaman hijau, kini lambat laun tampak aslinya bagai neraka kecil.
Inilah sebabnya air tak mau singgah ke tanah kami. Tanah yang dulu bisa buat
nenek dan kakek tersenyum, tanah yang dulu bagai istanah surga, tanah yang dulu
menyuguhkan buah segar gratis bagi anak-anak, lalu kini kami hanya bisa
menangis dan menunggu kapan tuhan berbaik hanti untuk menurunkan hujan di tanah
kami.
Matahari
tak lagi iba kepadaku, kakiku terus saja mengayuh sepedah sekuat adanya tenaga,
menghitung putaran sampai benar-benar berhenti dan berfikir untuk mencari
tempat teduh, punggungku tak sanggup lagi untuk tegap berdiri, aku harus
istirahat dan bermimpi untuk mencari tenaga di tengah puasa yang sedang aku
lakukan. “alhamdulillah, di belakang gedung sebuah hotel ada taman kecil yang
ayem yang bisa buat aku berbaring. Sudah kusambangi saja tempat itu dan
meregangkan satu persatu bagian tubuh, ternyata di kota ini masih ada tempat
seperti ini, tempat yang menyuguhkan dinginnya rumput hijau,pohon dan semak
yang rindang, mungkin ini sedikit dari kebaikan siang yang di berikan tuhan
kepada kami yang mau mencarinya.
Di
penghujung tidur, aku bermimpi hujan deras mengguyur desaku selama tujuh hari
tanpa henti, lalu kami berpesta, menari dan bersyukur bersama di bawah guyuran
hujan, semua ternak bersuara riang, tumbuhan, pepohonan,dan buanga kembali
tumbuh dan bermekaran. Lebah,semut dan burung bertebaran untuk mencari madu
bunga dan manisnya buah-buahan semanis hidup yang kami rasakan
Ternyata
mimpi itu tak bertahan lama, aku terbangun di bawah guyuran hujan
rintik-rintiknya menbasahi wajah,leher serta badanku, “ya tuhan, apa ini
benar-benar hujan?”, “Atau ini jawaban dari mimpiku?, aku masih belum percaya
dengan keadaan yang aku dapati ini, aku tersenyum menadahkan tangan
tinggi-tinggi berputar-putar riang sebelum aku benar-benar tahu kalau air yang
turun itu adalah air jemuran dan terlihat jauh di atas sana seorang gadis
seumurku sedang mengibas bajunya untuk di keringkan, “haha, pantas saja baunya,
seperti bau ditergen”, melihat aku kebingungan di bawah sana lalu gadis itu
bersuara, “maaf ya mas, saya tidak sengaja”, suaranya lebut dan bernada, “iya,
tidak apa-apa”, dalam hatiku ikut bersuara “ kalaulah sengaja juga tak apa, toh
yang nyiramnya cantik”, aku tertawa dia tersenyum kami saling malu-malu
pandang. Aku sudahi pertemuan itu dan mulai cemas mencari sepedaku, “dimana,
dimana sepedaku?”, aku rasa aku letakan di samping sini. Ada suara dari atas.
“cari apa mas?”, tanya gadis itu. “sepeda!, kamu lihat gak?”, seruku dengan
suara tinggi. Iapun langsung menjawab, “yang itu?” tangannya menunjukan kearah
seseorang yang dengan cepat membawa sepedaku. “wah sepedaku, tanpa berfikir
apapun aku berlari dan mengejar sekuat mungkin, aku belum berhenti, aku tak mau
kehilangan sepedaku, pantai tak begitu jauh, aku tak mau pulang terlambat. Namun,
nyatanya badanku lemas aku tidak bisa mengejar tapi aku masih berlari, bayangan
sepedaku sudah menghilang jauh. Aku tak kuat lagi berlari tapi aku masih saja
berlari aku jatuh menangis dan berteriak. Rasanya gila memang gila, di saat
bulan puasa seperti ini masih saja ada orang gila yang mau mencuri sepeda
rongsok seperti itu, “dasar percuri tidak berfikir”, aku menghujat. “Akukan
sedang butuh!, kalaulah kau tau ibuku sedang menungguku di rumah, menunggu air
untuk membilas tenggorokannya yang kering setelah seharian bekerja, kau harus
tau itu! Harus tau! Hei pencuri! Pencuri!, aku terus berteriak, berteriak
kepada pencuriyang sudah jauh larinya, kepada orang yang mau mendengarkan
keluhku, kepada tuhan yang maha tahu keadaanku.
Aku
bingung, harus bagaimana saat ini, haruskah aku pulang dengan tangan kosong dan
mengatakan kepada ibu kalau sepedaku hilang dan monic mati karena aku tak
sampai ke pantai, atau tetap melanjutkan perjalanan dan pulang terlambat.
pilihan yang sulit memang, tapi harus bagaimana lagi mungkin lebih baik
terlambat dari pada tidak datang sama sekali, di pinggir jalan aku menumpang
mobil ternak yang akan pergi ke pantai. Bersama kambing ternak lengkapi sore
dengan pikiran yang kalut, angin senja berhembus dingin matahari sudah malas
memancarkan cahayanya langitpun mulai redup kemerahan, indah memang sore ini
tapi sayang aku tak bisa menikmatinya, perutku sakit,kepalaku pusing, keadaanku
sudah tidak sehat lagiyang bisa aku lakukan hanya menagkup ember ke perutku
yang lapar, memandangi monic sambil berbicara kosong.
Ketika
mataku terpejam, aku mulai merasakan rintik hujan bersahutan diwajah,lengan dan
kaki semakin lama semakin deras dan basah, yah aku bisa mendengar ribut hujan
di sepanjang jalan, kali ini aku tidak bisa mengatakan kalau tuhan berbohong
kepadaku. Hujan telah turun tapi sekali lagi sayang aku benar-benar tidak bisa
tersenyum, bibirku seakan beku dan mataku bak daun kring yang siap rontok.
Sungguh menyakitkan roh ku yang ingin bersyukur.
Tuhan
kini mulai tau maksudku, tuhan membalas surat yang ibu kirim jauh-jau hari, aku
tau mobil sudah menepi di pinggir pantai sejak lama, menunggu aku turun, karena
mobil akan kembali. Melihat aku tak kunjung bangun kedua orang yang mengantarku
kemudian mengangkat dan membawaku ke bibir pantai, aku di baringkan disana, dan
di selimuti dengan selimut merah putih yang sejak awal perjalanan terikat di
kudukku. Aku tak bisa lagi mencucinya anganku sudah jauh pergi ntah kemana,
pikiranku melanglang buana kenegeri di mana semua isinya adalah air, senja
mulai kontras berwarna merah mentari harus tidur dan pulang kerumah, tampaklah
bulan yang sedang bersiap-siap bekerja malam ini, lalu terdengar suara azan
menggema jauh ntah dimana suaranya pelan syahdu bertalu di dalam hati, ombak
pantai mulai bersahutan sampai kebibirku, bahkan alam tau kalau aku sedang
berpuasa. Tentang monic, monic telah jauh pergi ke lautan, ia sudah lebih dulu
pulang. Mungkin ia akan lebih bahagia tanpa harus tersiksa hidup bersamaku.
“tuhan!
Aku lelah, izinkanlah aku tidur semalam disini, biarkan bulanmu menjadi
penerangku agar aku tidak terlalu takut dengan kegelapan semalam, beri tahu aku
dongeng tentang air, tuhan mungkin aku akan tidur berselimut air. Tapi aku
mohon, jangan jadikan aku bangkai malam yang siap di lempar ke lautan.
NB. seting suasana: Ramadhan
seting tempat : Mutun, tanjung karang
durasi : 10 menit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
syukran